Friday, July 24, 2009

Musik Elektronik di Atas Panggung : Sebuah Refleksi

Artikel asli ditulis oleh Primus Luta. Versi asli dapat dilihat di : http://createdigitalmusic.com/2009/07/21/take-it-to-the-stage-reflections-on-live-laptop-music-from-artists/

Musik Elektronik di Atas Panggung : Sebuah Refleksi

Di masa sekarang, musik elektronik bisa didengar di mana saja, baik itu di kalangan akademis, pasar musik berceruk kecil sampai karya komersil yang populer. Tapi masih ada ketidakmenyambungan secara persepsi antara musik elektronik dan musik tradisional, terutama di dalam konteks membawakan musik tersebut secara live di panggung. Musik yang menggunakan alat musik tradisional dapat diukur profisiensinya dari pencapaian fisik yang terlihat : senar gitar dipetik, senar bas dibetot, tangan yang menggenggam pemukul drum menghajar snare. Musik elektronik selama ini dimengerti sebagai musikyang dibuat oleh komputer, sehingga menimbulkan pertanyaan besar di benak semua orang : jika musiknya sudah dibuat oleh komputer, lalu apa yang sebenarnya dilakukan oleh sang musisi? Tulisan ini mencoba menyingkap misteri di balik live performance para musisi elektronik.

Dari Studio ke Panggung

Menurut sejarah, penampilan musik live sudah ada jauh sebelum ditemukannya konsep rekaman musik. Rekaman musik di awal perjalanannya juga bukan merupakan konsep rekaman seperti yang kita kenal sekarang sebagai produksi rekaman studio, tapi lebih sebagai rekaman langsung dari live performance. Musik elektronik sendiri merupakan sebuah anomali. Walaupun komposisi musik elektronik di awal perjalanannya diciptakan untuk live performance, kebanyakan musik elektronik di jaman sekarang justru dimulai dari rekaman.

Menterjemahkan hasil proses produksi di studio yang berlarut-larut ke atas panggung bukanlah sebuah tugas yang mudah. Tidak selalu mungkin untuk memainkan secara live musik yang sudah dihasilkan di studio, tapi penting untuk harus dilakukan.

“Kami dapat merekam suara dengan multi-track di studio”, kata 8 Bit Weapon, “tapi saat bermain di panggung, anda akan terpasung dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh komputer lama, console game dan sound chip. Jadi kami harus memotong atau menambah bagian yang direkam dengan mereproduksi mereka secara live.”

Bagi Richard Devine, menyusun live performance dimulai di studio dengan cara “menterjemahkan semua data MIDI dan transisi lagu ke dalam Ableton Live. Ableton menjalankan bagian-bagian dari lagu saya. Saya memiliki ratusan audio clip yang berjalan di session view.” Di atas panggung, hal tersebut memungkinkan Devine untuk “me-mix and match breaks, intro, atau bagian-bagian dari lagu yang berbeda, dan juga memanipulasi cara memainkannya. Saya bisa melakukan apa saja dengan aransemen aslinya. Ini seperti melakukan remixing dan producing dalam waktu yang bersamaan.”

Menurut Mark de Clive-Lowe, “hal ini sangat mirip dengan proses pembuatan lagu di studio, hanya dipercepat!”.

Menurut J Tonal dari The Flying Skulls, “Kami menciptakan lagu di studio dengan cara yang tradisional. Mereka kemudian dipecah menjadi bagian-bagian drum dan bass yang dimainkan secara live dengan MPC, bagian melodi dan lead yang dimainkan live dengan MS2000, dan sampel-sampel dan bagian melodi lain yang dipecah menjadi Ableton Live audio clips dan dimainkan live menggunakan M-Audio Trigger Finger.” Sistem kerja ini mereka sebut sebagai deconstruxions.

Seperti yang dijelaskan oleh Mark de Clive-Lowe, “pemikiran mengenai mereinterpretasi dan menterjemahkan lagu yang sama untuk penonton yang berbeda dengan kondisi dan situasi yang berbeda bukanlah hal baru.” Dengan kata lain, mengaransemen ulang musik elektronik untuk dimainkan secara live memiliki relevansi dalam konteks performance, seperti halnya musik tradisional lainnya.

Bagi beberapa orang, hal ini berujung pada pengulangan sejarah, kembalinya live performance sebagai bahan untuk rekaman. Menurut Tim Exile, “pengalaman ikut serta dalam sebuah aksi live performance adalah sangat cepat dan sulit diterjemahkan ke dalam sebuah rekaman. Saya telah mengembangkan beberapa cara untuk berimprovisasi yang merupakan feedback dari lingkungan tempat musik saya dibawakan.”

Dimainkan live atau tekan tombol play?

Saat membahas tentang musik elektronik, apakah musiknya dimainkan live atau hanya diputar rekamannya saja? Sehubungan dengan munculnya teknologi baru seperti Ableton Live, garis pemisah di antara keduanya mulai kabur sampai pada titik menjadi tidak relevan lagi. Seperti yang dijelaskan oleh Tim Exile bahwa, “diskusi ini lebih berada pada batasan antara membawakan komposisi secara live dan improvisasi. Kebanyakan live performance yang saya lihat belakangan ini adalah memvariasikan aransemen secara live, dengan fokus utama pada pemotongan atau penambahan aransemen sesuai dengan reaksi dari penonton. Pertunjukan live menjadi adaptif dan hampir mirip dengan konsep yang digunakan para DJ.”

Apapun sumber suara yang telah dipersiapkan, gaya adaptif ini sendiri menjadi sebuah “performance” dalam konteksnya sendiri. Richard Devine mengatakan bahwa, “sekarang saya tidak bisa melakukan dua live performance yang persis sama. Ada banyak variabel berbeda yang dapat dirubah dan dimanipulasi.”

Menurut Daedlus, “saya banyak menggunakan loop yang sudah dibuat sebelumnya. Analoginya adalah sama ketika saya hendak bermain lego dan mencoba untuk membuat model pesawat luar angkasa supaya hampir sama dengan aslinya.”

Menurut J Tonal dari The Flying Skulls, “banyak lagu kami yang memiliki versi yang telah direkam di studio sebelumnya, yang dimainkan selama sekitar 2 menit, kemudian kami menerapkan konsep deconstruction dan memainkan versi remix secara live dari lagu yang sama.” Di atas backing track dari lagu mereka, Seth dan Michelle dari 8 Bit Weapon “memainkan Commodore 64 dan 128 live seperti layaknya sebuah piano, dan menggunakan Apple IIc sebagai synth mono dengan cara bermain yang sama. Game Boy digunakan untuk memainkan suara-suara live dan sequence sederhana.”

Pusat Komando

Pusat dari segala pertunjukan musik adalah instrumennya. Bagi musik elektronik, instrumen tersebut adalah peralatan yang dibawa saat live performance. Peralatan tersebut dapat berupa sebuah laptop atau sebuah alat hybrid antara hardware dan software; kemungkinan konfigurasinya tidak terbatas. Kombinasi antara midi controller, sound module, mixer dan efek menentukan luasnya suara-suara yang dapat dihasilkan. Peralatan yang digunakan sang musisi menjadi titik penentu bagi dirinya.

Seberapapun besarnya atau banyaknya peralatan yang digunakan, semua set itu memiliki satu pusat komando dimana semua sumber suara mendapatkan perintah. Bagi Daedelus pusat komando tersebut adalah Monome. “Saya sudah cocok dengan Monome. Terutama menggunakan MLR dan tambahan-tambahan lain. Saya merasa terbebas dari belenggu kreativitas. Saya bisa berimprovisasi seperti layaknya seorang musisi jazz dengan sampel-sampel.”

Walaupun peralatan anda beraneka ragam, aspek improvisasi tetaplah yang terpenting. Richard Devine menjelaskan bahwa peralatannya yang merupakan hybrid antara software dan hardware memungkinkannya untuk memiliki “fleksibilitas yang maksimum untuk mengubah apa saja di waktu kapan saja selama pertunjukan.” Pusatnya adalah MacBook Pro yang menjalankan Ableton Live 8 yang mensinkronkan tiga peralatannya. “Monome ini menjalankan trigger acak pada FM synth di Max, MonoMachine ini menjalankan synth dan bassline, sedangkan Machine Drum menjadi sumber suara kick drum analog dan perkusi latar.”

Sama rumitnya dengan peralatan dari 8 Bit Weapon. Laptop tetap mereka gunakan, bersama dengan sebuah komputer Commodore 64, komputer Commodore 128, sebuah Game Boy, sebuah Apple IIc, Elektron SidStation (berisi sound chip C64), konsol Nintendo Entertainment System, Korg microKORG vocoder dan sebuah mixer 12 channel.

Walaupun laptop menjadi sumber suara bagi Tim Exile, pusat komando dari peralatannya adalah 2 Behringer BCR2000 dan sebuah BCF2000. “Kendali 2 arahnya sangat sempurna, dan ada cara untuk dapat menggunakan setiap tombol yang ada. Saya membuat sendiri pemetaan kendali untuk mengendalikan Reaktor.”

Peralatan Mark de Clive-Lowe’s mungkin terlihat sebagai peralatan seorang keyboardis dengan Rhodes, Clavinet dan synth lainnya. Pusat komando yang ia gunakan adalah MPC3000 yang digunakan untuk memprogram beat secara live. “Interface yang taktis memungkinkan saya untuk bermain drum layaknya drum asli.”

Bagi The Flying Skulls, tiap anggotanya memiliki peran instrumental yang berbeda. Semua suara menjadi satu di mixer Rane Empath. “Mixer ini menjadi master mixing console bagi beberapa elemen pertunjukan kami: Snareface yang memainkan MPC, Jerome pada MS2000 dan satu channel dari Live yang dijalankan di laptop J Tonal.” Menggunakan fasilitas Flex-FX di mixer Rane Empath tersebut “memungkinkan kami untuk mengakses lebih dari 100 jenis efek yang dapat langsung diaplikasikan ke beberapa atau semua channel dengan kendali yang mudah.”

Mengikutsertakan Penonton

Selalu ada kebutuhan untuk mengikutsertakan penonton. Menurut Richard Devine, “Hal ini sangatlah penting. Anda harus dapat tersambung dengan mereka. Saya biasanya memainkan lagu yang mereka kenal, dan juga lagu-lagu baru yang mereka belum pernah dengar. Saya suka untuk memprogram breaks dan transisi yang dapat membawa penonton seperti sebuah jet koster.”

Memimpin para penonton selama pertunjukan bukanlah hal yang mudah, terutama dengan keharusan untuk berkonsentrasi pada kendali aransemen lagu yang dibawakan. Akan tetapi keberhasilan musisi untuk menyambungkan performance mereka dengan apa yang didengar oleh penonton merupakan sebuah pencapaian tersendiri.

Menurut Tim Exile, “pergerakan adalah sama pentingnya dengan suara yang keluar. Saya memperhatikan bahwa penonton merespon dengan baik saat mereka dapat tersambung antara gerakan dan suara yang mereka belum pernah dengar sebelumnya. Jadi jika mereka melihatmu mengendalikan secara langsung sebuah struktur suara yang mereka hanya bisa dengar sebelumnya tanpa ada korelasi kinetik apapun, maka mereka dapat mengalami sebuah pengalaman yang transformatif.”

“Para pentonton menyaksikan sebuah proses produksi studio yang dilakukan dalam kecepatan tinggi di atas panggung di depan mata mereka sendiri, “ jelas Mark de Cliv-Lowe. “Mereka mengalami sebuah perjalanan melalui musiknya – melalui ritem, harmoni dan melodi.”

Para musisi dapat beradaptasi dengan perjalan itu dengan cara “menyuapi” penonton. Menurut Daedelus, “mereka (para penonton) adalah ombak di lautan. Mencoba untuk melawan mereka adalah perbuatan sia-sia. Anda dapat mengangkat layar mencoba melawan angin, tapi anda tidak akan bisa pergi jauh dengan begitu. Saya sudah menentukan arah dari perjalanan ini sebelumnya, tapi saya juga melihat keadaan penonton dan rela untuk memutar arah apabila diperlukan.”

Hal ini tidak menghapus cara-cara tradisional untuk mengikutsertakan penonton. J Tonal menyarankan agar mikropon selalu tersedia supaya kita bisa berkomunikasi dengan penonton. Ia meyakinkan diri agar para penonton berada dalam kondisi emosional yang sama dengan dirinya saat di panggung. 8 Bit Weapon menggunakan pendekatan lain, “kami sering melontarkan komentar-komentar lucu saat berganti lagu.”

Mengantisipasi Kegagalan

Walaupun teknologi telah memungkinkan kita untuk melakukan hal-hal yang spektakuler, sistem pencegahan kegagalan belum dapat diimplementasikan dengan baik. Mengganti harddisk yang rusak belum sesederhana mengganti senar gitar yang putus.

Mark de Clive-Lowe sering mengalami kejadian dimana MPC nya mengalami kerusakan sebelum dan pada saat pertunjukan berlangsung. Richard Devine juga sering mengalami hal yang sama, dimana komputernya hang di tengah pertunjukan atau tiba-tiba mendapati masalah sinkronisasi yang gagal. 8 Bit Weapon juga telah mengirimkan SidStationnya untuk diperbaiki di Swedia berkali-kali karena tersenggol dan terbanting oleh penonton yang mabuk.

Mengatasi situasi tak terduga seperti ini menjadi bagian dari performance itu sendiri. Menurut Mark de Clive-Lowe, “ketrampilan terhebat seorang live performer adalah saat ia mampu menjadikan kesalahan tersebut menjadi bagian dari pertunjukan dan tidak terlihat sebagai sebuah kesalahan.” Richard Devine menambahkan “ketika kita hanya memiliki waktu yang singkat untuk bermain – ketika ada sebuah kesalahan, kita harus siap dengan rencana cadangan yang dapat berupa sebuah komputer lain yang siap dimainkan atau alat hardware lain yang dapat digunakan untuk bermain. Tidak ada yang lebih buruk daripada keliling dunia untuk bermain di sebuah show dan menemui masalah teknis.”

Tapi mungkin penghalang terbesar adalah, seperti yang dikatakan oleh Tim Exile, “berada dalam mood yang buruk. Tidak ada yang bisa kita lakukan saat itu terjadi.”

No comments:

Post a Comment