Tuesday, February 23, 2010

Musik (Di) Indonesia - by Serrano Sianturi

MUSIK (DI) INDONESIA
MENUNGGU BERBUAHNYA BERBAGAI POTENSI


-Artikel asli dimuat di majalah TAPIAN edisi Juli 2008.-

Oleh Serrano Sianturi

Dilihat dari sisi potensi, Indonesia seharusnya memiliki peran yang penting di dunia, bukan hanya sebagai salah satu otoritas tetapi juga sumber inspirasi yang mewarnai perkembangan musik. Pengaruh musik Indonesia, khususnya Gamelan, terhadap perkembangan musik Barat sebenarnya tidak bisa diremehkan. Komponis-komponis besar Barat seperti Debussy, Ravel, Xenakis, John Cage, Steve Reich sampai dengan gitaris klasik kenamaan Amerika saat ini Bill Kanengiser memiliki kekaguman tersendiri terhadap Gamelan yang dapat kita dengar dari beberapa karya-karya mereka.

Pengaruh besar tersebut sayangnya lebih merupakan buah dari pengakuan serta upaya Barat dalam menyikapi Gamelan, bukan karena upaya dari kita sendiri. Jika Gamelan sendiri sudah demikian besar kontribusinya, dapat kita bayangkan betapa lebih besarnya pengaruh kita dalam perkembangan musik di dunia jika musik-musik Indonesia lainnya dapat lebih berbicara.

Potensi yang kita miliki sangat luar biasa, dan patut kita banggakan. Akan tetapi berbagai potensi yang ada dan kerap kita bangga-banggakan ini sayangnya belum juga menjelma menjadi sesuatu yang nyata. Musik (di) Indonesia memang mempunyai berbagai masalah; hanya saja,persoalannya bukanlah pada banyaknya masalah, tetapi lebih pada bagaimana kita melihat, memahami dan menyikapinya selama ini.

Musik: ekspresi budaya atau komoditas ekonomi?

Kebudayaan, sebagaimana yang telah kita ketahui, mengandung aspek ekonomi, dan demikian pula sebaliknya. Jadi alangkah wajarnya jika musik memiliki dual position, yaitu sebagai manifestasi budaya dan juga komoditas ekonomi. Oleh sebab itu, komoditisasi musik bukanlah melulu merupakan hal yang buruk, selama itu ditempatkan pada konteks dan proporsi yang tepat - dua hal yang justru acap kali diabaikan oleh para pelaku di dalam “industri” musik di Indonesia.
Motivasi di balik penciptaan musik contohnya, dapat dikatakan telah menjadi sepenuhnya berlatarbelakang ekonomi (lebih tepatnya komersial). Padahal, jika kita menilik sejarah sebagian besar genre musik, termasuk yang selama ini berada di wilayah mainstream sekalipun, motivasi penciptaannya sama sekali bukanlah ekonomi.

Musik Blues misalnya, penciptaannya merupakan suatu response dari kaum kulit hitam di Amerika Serikat terhadap perbudakan. Demikian juga dengan musik Ska dan Reggae dari Jamaica yang merupakan response terhadap kemerdekaan yang telah lama mereka nanti-nantikan, dan oleh karena itu merupakan simbol optimisme dan pride dari masyarakatnya.

Kemudian musik Rock, juga merupakan sebuah tanggapan terhadap perang (Vietnam) dan persamaan hak (kaum kulit hitam) di Amerika Serikat. Lalu Punk Rock, yang merupakan wujud kekecewaan kaum muda terhadap “gerakan” Rock yang dianggap telah mengkhianati tujuan awalnya karena tergulung oleh komersialisasi.

Lalu di akhir tahun 70an, kaum hitam miskin di wilayah urban (khususnya lagi di kota New York) di Amerika Serikat melakukan “perlawanan” terhadap perseteruan antar sesama yang berlatarbelakang kegiatan ilegal seperti narkoba dan prostitusi. Upaya ini melahirkan Rap, dan Hip Hop yang merubah bentuk perkelahian fisik menjadi “perkelahian seni”.

Dengan demikian, musik yang lahir dari sebuah response terhadap suatu kondisi bukanlah hanya merupakan sebuah ekspresi budaya, tetapi juga gerakan.

Dengan latar belakang motivasi yang non-komersial, musik-musik tersebut di atas ternyata justru menempati posisi yang kokoh dalam industri musik dunia. Mengapa demikian? Dari sudut pandang ekonomi jawabannya sederhana saja. Musik yang lahir dari suatu konteks (budaya, sejarah dan sosial) setidak-tidaknya memiliki dua hal yang dari sudut pandang ekonomi dianggap penting.


Pertama tentu adalah ciri khas karena konteks di suatu wilayah tentu berbeda dengan wilayah lainnya. Dalam ilmu dan praktek pemasaran, ciri khas ini disebut sebagai product differentiation dan diyakini memberi nilai jual serta daya saing yang tinggi.

Kedua, musik yang lahir dari sebuah response terhadap suatu kondisi dapat dipastikan menyuarakan ekspresi yang bukan hanya dapat dipahami, tetapi juga dinikmati oleh masyarakatnya. Lalu seperti telah disinggung di atas, musik dalam hal ini juga merupakan sebuah gerakan; oleh karena itu, memiliki penggemar dan/atau pengikut adalah sebuah konsekwensi logis. Pengikut inilah yang diistilahkan sebagai served audience atau di Indonesia sering disebut sebagai pasar. Dengan basis audience ini industri kemudian memperluas targetnya ke wilayah-wilayah lain.

Jadi, “pencipta” atau “pemilik” pasar bukanlah industri, tetapi para musisi itu sendiri. Industri sebenarnya tidak lain hanya memanfaatkan dan mengembangkannya. Pertanyaan yang dapat kita angkat dari bahasan di atas adalah: apakah mungkin musik yang sepenuhnya bermotivasi komersil membangun segmentasinya secara permanen sekaligus memiliki nilai ekonomi yang tinggi?

Identitas dan Daya Saing

Musik Indonesia yang berada di wilayah mainstream (pop, rock, jazz, dll) bukan merupakan response terhadap kondisi yang melahirkan musik-musik tersebut pada awalnya, dan oleh sebab itu tidak memiliki konteks yang sama.

Musik mainstream Indonesia hanyalah “reproduksi” dari apa yang telah diciptakan oleh masyarakat lain, dan tidak dilandasi oleh pemahaman konteks serta (apalagi) pengalaman kondisi yang melatarbelakangi musik-musik tersebut. Gaya dan struktur musiknya meniru yang asli, tetapi umumnya tetap tidak memiliki “bunyi” yang sama. Selanjutnya, musik mainstream Indonesia juga bukanlah hasil reinterpretasi musikal yang menggunakan idiom musik tradisional kita yang kaya dan otentik. Jadi, disadari atau tidak, musik mainstream Indonesia tidak memiliki identitas.














Etnomusikolog Ritaony Hutajulu dan Irwansyah Harahap berdiskusi dengan sesepuh kesenian Aceh Marzuki Hasan

Sementara itu, musik tradisional kita yang beragam dan jelas-jelas memiliki identitas yang kuat belum mampu menjadi kekuatan yang nyata, baik di dalam maupun di luar Indonesia.

Memainkan musik bangsa lain tentu bukan hal yang buruk dan banyak dilakukan di berbagai negara. Yang mungkin perlu dipertimbangkan adalah jika kita memainkannya lebih sebagai reproduksi maka daya saing kita di tingkat dunia rasanya tidak akan kuat.

Di Jepang misalnya, musik yang diberi label J-Pop (kependekan dari Japanese Pop) merajai pangsa pasar domestik. Walaupun berlabel Japanese, struktur musik yang dimainkan sama sekali tidak dipengaruhi oleh unsur musik tradisional Jepang; ke-Jepang-annya hanya pada lirik lagu dan pemainnya, yang jika ditanggalkan akan memperdengarkan kita sepenuhnya pada musik pop Barat. Di Indonesia pelabelan Indonesia bukan hanya pada musik pop tetapi hampir pada semua genre walaupun unsur kelokalannya juga hanya pada lirik dan pemain. Perbedaan di antara keduanya adalah musisi Jepang sangat menyadari bahwa musik J-Pop mereka tidak mungkin bisa berbicara di pentas internasional, sedangkan musisi Indonesia umumnya masih mengira bahwa mereka dapat going global dengan memainkan musik seperti itu.

Pengunaan label Indonesia pada musik-musik yang berbasis musik Barat seperti Country Indonesia, Jazz Indonesia atau Rock Indonesia seyogyanya dilakukan dengan hati-hati karena hal tersebut sebenarnya merupakan klaim identitas terhadap musik yang dimainkan.
Oleh sebab itu, klaim ini sepatutnya dilandasi oleh unsur-unsur musikal yang khas Indonesia yang membuat musik tersebut memiliki struktur yang juga khas. Klaim identitas musikal di pentas dunia tidak dilakukan sembarangan. Musisi-musisi Amerika Serikat, Jepang (kecuali yang berkutat di segmentasi J-Pop) dan negara-negara di Eropa misalnya, tidak pernah menggunakan pelabelan seperti American Flamenco, Japanese Rock, European Blues, British Jazz, atau French Rap, walaupun cukup banyak yang memainkan musik-musik tersebut dengan sangat baik. Mereka sepenuhnya menyadari bahwa klaim identitas seperti itu membutuhkan landasan yang kuat.

Amerika bagian selatan sebaliknya dengan lantang mengklaim identitas Latinnya pada musik-musik yang berasal dari luar wilayahnya. Hal ini memang pantas dilakukan karena seniman-seniman musik Latin berhasil mereinterpretasi dengan menggunakan idiom musik mereka seperti yang telah dilakukan oleh Tito Puente, Chucho Valdes, Milton Nascimento sampai dengan Gloria Estefan. Pelabelan seperti Latin Jazz, Latin Flamenco atau Latin Pop dalam hal ini bukanlah klaim identitas yang tidak berdasar. Lebih jauh lagi, musik-musik yang mereka ciptakan ini bahkan mampu memberi pengaruh balik terhadap yang “asli”.

Jika kita mengamati percaturan di industri musik dunia, akan terlihat dengan jelas bahwa musisi yang berasal dari wilayah dimana musik tersebut tercipta masih terus mendominasi di segmentasi pasarnya. Musik Klasik masih didominasi oleh seniman musik Eropa (dan Amerika Serikat); Blues, Country, Jazz, Rhythm & Blues, Rap dan Hip Hop didominasi oleh Amerika Serikat; Rock oleh Amerika Serikat dan Inggris; Reggae oleh Jamaica, Flamenco oleh Spanyol, dst.

Tentu ada pelaku-pelaku yang berasal dari wilayah luar yang berhasil, akan tetapi jumlahnya relatif sedikit kerena mereka “dituntut” untuk memiliki kemampuan konseptualisasi, teknik dan/atau komposisional yang diakui melebihi yang “asli”.




Di wilayah musik Klasik contohnya, dari ribuan yang tersebar di seluruh dunia ternyata hanya beberapa nama “luar” yang dapat mencuat. Alberto Ginastera, Toru Takemitsu, Seiji Ozawa, Leo Brouwer, Yo Yo Ma, dan Tan Dun adalah beberapa nama di antara segelintir yang berhasil.

Dengan kata lain, para pelaku musik di Indonesia sebaiknya menyadari betapa sulitnya untuk memperoleh pengakuan di wilayah musik yang bukan merupakan bagian dari konteks serta identitas budaya kita sendiri. Keberhasilan orang per orang mungkin saja terjadi, tetapi secara kolektif rasanya hampir tidak mungkin.

Glocality

Di awal tahun 80an, para musisi yang bergelut dengan kelokalan budaya mereka mulai mendapat tempat di luar wilayahnya sendiri karena permintaan (demand) akan jenis musik ini ternyata terjadi dan tumbuh di berbagai wilayah di dunia. Hal ini disadari oleh perusahaan-perusahaan rekaman dan distribusi, baik yang mainstream maupun independent, yang lalu mengakomodasi perkembangan ini. Karena tidak dapat mengelompokkannya sebagai salah satu dari kategori yang selama ini telah ada, musik ini kemudian oleh industri dikategorikan sebagai World Music yang sekaligus juga merupakan segment “baru”.

Terlepas dari tepat atau tidaknya istilah World Music, kategori ini pada dasarnya terbagi atas dua kelompok yaitu authentic dan fusional. Kelompok authentic adalah musik yang dimainkan tanpa memadukannya dengan jenis musik di luar dirinya. Kelompok fusional sendiri terdiri atas dua pendekatan; pertama adalah crossover yang memadukan musik tradisional dengan genre yang berbasis pada musik Barat, lalu yang kedua adalah hybrid yang memadukan dua atau lebih musik tradisional.

Pertumbuhan pangsa pasar World Music di dunia cukup mencengangkan. Di akhir tahun 90an porsinya telah mencapai 5%, dan per tahun 2007 menurut perhitungan penulis pangsanya telah mencapai hampir 9%, dan masih terus berkembang.

Bandingkan dengan pangsa pasar musik Klasik dan Jazz yang digabung “hanya” sebesar 5%. Perlu diingat bahwa kedua jenis musik ini telah berada di pasar industri musik selama lebih dari 75 tahun, sedangkan World Music “baru” 20 tahun.

Melalui segment inilah para musisi dengan latarbelakang musik tradisional merambah dunia dan “bersaing” dengan mereka yang berada di wilayah mainstream; di antara musisi yang telah menjadi ikon dunia adalah almarhum Ali Farka Toure, Buena Vista Social Club, Gypsy King, Kodo, Nana Vasconcelos, almarhum Nusrat Fateh Ali Khan, dan Youssou ‘N’ Dour.

Ditilik dari profil serta perjalanannya, motivasi bermusik sebagian besar musisi di segment ini lagi-lagi bukanlah ekonomi. Mereka memang benar-benar menghormati serta menguasai musik yang mereka mainkan, dan meyakininya sebagai akar mereka. Perjalanan mereka sebelum mencapai ketenaran amatlah panjang dan melelahkan. Daya tahan seperti itu hanya mungkin dimiliki oleh mereka yang mempunyai dedikasi dan pride akan identitasnya.

Selain memperkaya keragaman budaya dunia, musik-musik yang mereka tampilkan juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak pelaku musik dari berbagai genre yang telah lebih dulu mapan di dalam industri. Dari musik Klasik, terdapat nama-nama seperti Joshua Bell, Kronos Quartet, Yo Yo Ma; dari Jazz terdapat Billy Cobham, Joe Zawinul, Trilok Gurtu; dari Blues ada Ry Cooder, Taj Mahal, lalu dari Rock ada Bill Bruford, Ian Anderson, Mickey Hart, Peter Gabriel, Robert Plant, Steve Hillage, Sting, dlsb.

Mungkin ada baiknya para musisi Indonesia, baik yang di wilayah mainstream maupun tradisional, untuk menggali, menghargai serta menguasai kembali kelokalan kita, dan kemudian mengelola serta mengembangkannya dengan kebanggaan tersendiri. Mungkin perlu pula disadari bahwa going global jauh lebih mungkin dicapai dengan being local. Semua genre musik yang ada dalam industri berhasil mapan di tingkat global justru karena mengangkat kelokalannya.



Eropa mengangkat musik Klasik, Celtic dan Flamenco nya, Amerika Serikat dengan Blues, Country, Jazz dan Rap nya, Amerika Tengah dan Selatan dengan Steel Pan, Reggae, Samba, dan Pan Pipe nya. Jadi pertanyaan yang mungkin perlu kita jawab sebelum “bertarung” di pentas dunia adalah: seberapa besar peluang keberhasilan Indonesia untuk mengglobal dengan mengusung kelokalan bangsa lain?

Transmisi

Persoalan lain dalam dunia musik kita adalah tidak berjalannya transmisi, baik yang bersifat lintas genre maupun generasi. Di antara musik mainstream yang berbasis musik Barat dan musik tradisional Indonesia tidak terjadi dialog musikal yang saling mengisi. Upaya-upaya membangun dialog selama ini umumnya bersifat antar musisi, belum antar musik. Selanjutnya, sebagian besar upaya-upaya ini juga cenderung melahirkan sensasi atau hasil yang artifisial. Hanya segelintir yang terkadang berhasil membangun dialog musikal dalam arti yang sebenarnya. Alhasil, musik yang berbasis Barat tidak kunjung memiliki ke-Indonesia-annya, sementara itu musik tradisional belum mampu memetik pelajaran dari musik Barat untuk pengembangan dirinya.

Hambatan dalam transmisi disebabkan oleh berbagai hal. Pertama adalah jumlah pelaku (termasuk pendidik) yang memiliki pemahaman dan penguasaan yang baik akan musik Barat masih sangat terbatas. Pemahaman serta penguasaan sebagian besar pelaku dapat dikatakan belum memadai atau masih parsial. Ada yang memposisikan diri sebagai komponis tetapi sebenarnya belum sepenuhnya memahami apa itu komposisi dan struktur. Ada yang mungkin menguasai tetapi sangat tidak memahami konteks musiknya. Ada juga yang menempatkan diri sebagai pemain tetapi sebenarnya belum memenuhi standar teknik yang dibutuhkan; ada yang memiliki teknik memadai tetapi tidak memahami teori musik. Jadi sebenarnya cukuplah sulit untuk menemukan pelaku musik (Barat) yang “utuh” di Indonesia.




Disamping penguasaan musik Barat yang belum utuh, sebagian besar pelaku juga tidak akrab dengan musik tradisional yang notabene merupakan akar budayanya sendiri. Ada kesan bahwa mereka tidak merasa perlu untuk mempelajarinya. Beberapa musisi kenamaan bahkan tanpa malu menyatakan keterkejutannya di media massa menyangkut kenyataan bahwa ada musik tradisional Indonesia yang memiliki polyrhythm, interlocking rhythm, dan improvisasi.

Di lain pihak, sebagian besar pelaku musik tradisional Indonesia menganggap pembaruan atau pengembangan sebagai “perusakan” terhadap keaslian. Tidaklah mengherankan jika pemusik tradisional yang melakukan upaya pengembangan seringkali tidak diberi ruang di lingkungannya, beberapa bahkan dikucilkan.

Otentisitas memang hal yang penting, akan tetapi kreatifitas dan konteks seyogyanya juga diberi ruang yang sama besarnya. Perjalanan musik Klasik adalah salah satu contoh bagaimana otentisitas, kreatifitas dan konteks dapat terus berdampingan. Berbagai era dalam perjalanannya, dari Gregorian, Renaissance, Baroque, Classical, Romantic sampai Modern, adalah bukti dari pembaruan-pembaruan yang dilakukan. Seiring dengan pembaruan yang terus berlanjut hingga kini, keutuhan musik setiap era tetaplah hidup.













Komponis/Musisi I Wayan Sadra “memimpin” musisi dari berbagai genre dan generasi di sebuah pertunjukan.

Demikian juga dengan Jazz yang melangkah dari Ragtime, Symphonic Jazz, Swing, Be Bop, Free Jazz sampai ke Fusion, dapat terus menjaga keaslian bersamaan dengan melakukan pembaruan sesuai konteks di periodenya. Kemampuan inilah mungkin yang patut untuk diraih oleh para pelaku musik tradisional Indonesia.
Hal lainnya adalah banyak pelaku musik tradisional yang terlihat inferior saat berhadapan atau bergaul dengan counterpart mereka yang berada di wilayah musik Barat. Dari ungkapan-ungkapan yang tercetus, penulis menangkap adanya rasa rendah diri karena menganggap “kalah” dalam hal kepopuleran, status sosial, penghasilan atau bahkan gengsi.

Padahal pergaulan dalam musik seharusnya sama sekali tidak dijalin dengan hal-hal tersebut, tetapi melalui etika serta pemahaman dan penguasaan materi musik yang digarap. Lihat saja bagaimana personil kelompok the Beatles merasa mendapat kehormatan saat memperoleh kesempatan berguru kepada Ravi Shankar; kemudian John McLaughlin yang merasa beruntung dapat bermain dengan Nana Vasconcelos, Paco De Lucia, Vikku Vinayakram dan Zakir Hussein, lalu Ry Cooder yang kegirangan dapat bermain bersama dengan mendiang Ali Farka Toure.

Rasa hormat dan bangga dalam hal ini justru diberikan oleh mereka yang telah menjadi raksasa dalam industri musik dunia kepada pemusik tradisional yang jelas-jelas “kalah” dari sisi popularitas dan penghasilan. Jadi sudah waktunya bagi pelaku musik tradisional untuk membuang jauh-jauh rasa rendah diri dan mulai membangun rasa bangga akan keakaran yang diusung.

Persoalan lainnya adalah hubungan antara generasi senior dan junior yang menurut hemat penulis, disadari atau tidak, lebih bersifat hirarkis daripada inspiratif. Hirarkis dalam hal ini berarti para senior lebih merupakan sumber otoritas daripada sumber inspirasi. Subyektifitas para senior menjadi pakem yang sepenuhnya dipegang oleh para junior, dan hal ini nampaknya dinikmati atau setidak-tidaknya dibiarkan pula oleh banyak kalangan senior. Akibatnya, para junior menjelma sebagai clone dari para seniornya.

Hubungan yang inspiratif sebaliknya menempatkan subyektifitas para senior sebagai sumber inspirasi. Dengan demikian, para junior memiliki ruang yang leluasa untuk menjelajah dalam rangka menemukan signature nya sendiri. Sayangnya, hubungan antar generasi seperti ini jarang terdapat.

Integrasi

Membangun industri musik di Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah, dan membutuhkan peran yang aktif dari semua unsur yang terdapat di dalamnya. Berbagai peran inipun seyogyanya dilandasi oleh struktur yang jelas, pemahaman porsi peran masing-masing pihak serta interrelasinya, dan tentunya etika yang dalam hal ini menjunjung konsensus serta aturan main yang disepakati. Kesemuanya ini, dalam pengamatan penulis, masih sangat kabur.

Melalui obrolan, diskusi dan wawancara, penulis menilai bahwa masih banyak pelaku yang belum memahami struktur yang merangkai mata rantai supply-demand dalam industri musik. Dengan sendirinya merekapun jadi tidak mengetahui bukan hanya dimana posisi masing-masing dalam mata rantai tersebut, tetapi juga bagaimana mereka seharusnya saling berhubungan. Belum lagi masalah etika yang mana setiap pihak nampaknya memiliki standarnya sendiri. Pada gambar di bawah ini terlihat bagaimana struktur dasar dari mata rantai supply-demand dalam industri musik dimana terdapat berbagai elemen yang terangkai.














Mata rantai supply-demand dalam industri musik

Bagan ini relatif sederhana karena belum menggambarkan interrelasi antara berbagai unsur yang jika ditampilkan akan terlihat “rumit”. Pada dasarnya bagan ini memperlihatkan bahwa mata rantai dalam industri terbagi atas 3 bagian yang saling terkait, yaitu persediaan (supply), penghubung (intermediary) dan permintaan (demand) yang mana setiap bagian memiliki fungsi serta unsur-unsurnya sendiri.

Setiap bagian ini juga merupakan apa yang disebut pasar dimana mekanisme “jual-beli” berjalan berdasarkan kesepakatan harga (baca: nilai) terhadap suatu jumlah barang atau jenis jasa. Di sisi persediaan misalnya, transaksi antar unsur pasti terjadi. Unsur Pendidikan contohnya, sering membutuhkan unsur Kreatif sebagai tenaga pengajar, dan sebaliknya, unsur Kreatif kerap membutuhkan pelajar/mahasiswa/pengajar sebagai pendukung kelompok musiknya. Demikian juga misalnya antara unsur Kreatif dengan Penyedia Instrumen. Keseluruhan elemen dalam struktur inilah sebenarnya, berikut dengan konsensus serta aturan yang berlaku, yang disebut pasar. Jadi pasar bukanlah hanya pihak yang membeli CD atau membeli karcis untuk menonton suatu pertunjukan.

Dengan tidak menyadari posisi, fungsi, peran serta interrelasi di dalam mata rantai ini, masing-masing pihak jadi bertindak sebagai independent entity yang tidak terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Akibatnya, output yang dihasilkan jadi jauh dari optimal.

Tempat pertunjukan (venue) misalnya, hampir semua “melayani” segment yang sama, baik pelaku musik maupun penontonnya. Bar, Café atau Club yang menyajikan musik hidup rata-rata hanya menampilkan materi “top 40” atau materi dari kelompok-kelompok asing yang sudah melegenda. Sementara itu berbagai gedung pertunjukan, dengan beban biaya yang tinggi, menjadi hanya bisa diakses oleh pelaku musik yang memiliki kemampuan finansial yang cukup mapan. Kondisi seperti ini menggugurkan kelahiran calon-calon bintang yang kreatif dan orisinal; kalaupun ada, mereka tidak akan terlihat karena selalu memainkan karya-karya orang lain atau tidak mampu membiayai pertunjukannya. Lahirnya karya-karya yang kreatif dan orisinal adalah penyegaran terhadap musik itu sendiri, dan hal ini sebenarnya dibutuhkan oleh industri rekaman yang kelangsungan hidupnya justru sangat ditentukan oleh penyegaran-penyegaran tersebut.

Dalam industri musik, tempat pertunjukan seharusnya memainkan peran yang sangat strategis karena fungsinya sebagai peta yang menggambarkan besaran berbagai potensi dan/atau segmentasi, baik dari sisi tingkat popularitas pemusik maupun genre musik. Oleh sebab itu, di negara-negara maju, tempat-tempat pertunjukan menetapkan positioning dan served audience nya sendiri. Ada kelompok yang mengkhususkan diri pada pemusik yang sudah mendunia, ada yang pada tingkat domestik, lokal dan ada pula yang konsentrasi pada pemusik yang belum dikenal tapi berpotensi. Selain itu, mereka juga menentukan genre musik yang menjadi menu utama, apakah itu Jazz, Klasik, Pop/Rock atau lainnya. Tempat-tempat yang telah melegenda seperti CBGB di kota New York atau Marquee di London adalah contoh-contoh venue yang memiliki posisi dan peran sebagai indikator besar atau tidaknya potensi kelompok-kelompok musik rock untuk mendunia.

Dalam industri yang mapan, tempat pertunjukan tidak hanya mencakup bar, café, club, atau concert hall, tetapi juga ruang-ruang publik seperti kaki lima, stasiun subway, dan taman kota. Kesemua tempat ini adalah arena kontestasi bagi pelaku musik yang sekaligus juga berfungsi sebagai indikator bagi perusahaan rekaman untuk menggarap materi baru atau memperluas pangsa pasarnya.

Interrelasi di atas hanyalah satu contoh yang menggambarkan keterkaitan antara satu unsur dengan yang lainnya. Keterkaitan fungsi dan peran dalam mata rantai inilah yang seyogyanya dijalin bersama;oleh karena itu, upaya membangun sektor musik akan menjadi sia-sia jika dilakukan sepenggal-sepenggal. Membangun sisi Persediaan saja, tanpa menata sisi Penghubung dan Permintaan,tidak akan memberi pengaruh yang signifikan, dan begitu pula dengan sebaliknya. Penataan sebaiknya dimulai dengan membangun miniatur mata rantai berupa lini-lini atau poros-poros kecil yang melibatkan ketiga sisi tersebut di atas. Dengan demikian, struktur dalam mata rantai dapat terbangun secara bertahap dan integral dengan berbagi tanggung jawab sesuai fungsi masing-masing pihak yang terkait. Pertanyaannya tentu adalah: apakah berbagai pihak ini mempunyai cukup kemauan untuk membangun industri musik yang sehat? Atau masih akan terus mementingkan keuntungan sendiri walaupun hal itu dalam jangka panjang sebenarnya tidak akan membesarkan dirinya?

Segmentasi dan Proporsi

Pasar di sisi Permintaan terdiri atas berbagai segmentasi, dan salah satunya adalah yang dilihat dari kategori musik. Pada dasarnya industri membaginya dalam dua kategori, yaitu Musik Serius (Serious Music) dan Musik Pop (Pop Music). Yang disebut sebagai musik serius adalah musik Klasik (sampai dengan yang Kontemporer) dan sebagian musik Jazz seperti Free Jazz. Sedangkan musik Pop mencakup Blues, Country, Hip Hop, sebagian Jazz, R&B, Rap, Reggae, Rock ‘n’ Roll, dan Rock. Belakangan kategori ini bertambah dengan adanya World Music seperti yang sempat disinggung di atas. Lalu tak lama kemudian muncul pula kategori baru yang disebut oleh industri sebagai New Age.
Sebagaimana World Music, New Age juga bukan merupakan genre musik. Istilah ini sebenarnya diadopsi oleh industri dari para pelaku musik yang mengangkat isu spiritualisme dan healing dalam karya-karyanya di tahun 50an. Akan tetapi setelah diadopsi, para pelopor ini meninggalkan istilah tersebut dan menggantinya dengan Meditative Music karena kategori yang digunakan oleh industri ternyata lebih berupa musik yang sekedar “indah” didengar.

Setiap segmentasi ini memiliki pangsa pasarnya sendiri dan besaran yang berbeda-beda. Musik Serius tentu secara umum memiliki pangsa pasar yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Musik Pop. Oleh sebab itu, penjualan CD musik Serius yang mencapai 20,000 keping dianggap setara kesuksesannya dengan 1,000,000 keping musik Pop. Di dalam Musik Pop sendiri, musik Rock masih mendominasi walaupun pangsanya terus menurun. Bagi industri rekaman, kategori musik sebenarnya bukanlah masalah utama. Yang penting bagi mereka adalah apakah pemusik dan musiknya memiliki “peminat” dalam jumlah yang cukup sehingga produksinya menjadi ekonomis dan bisa memberikan keuntungan. Analoginya adalah seperti barang cetakan, semakin besar kwantitasnya semakin murah biaya per unitnya.

Jika kita melihat berbagai CD dan cassette yang ditawarkan di berbagai retailer besar, segala jenis musik termasuk yang Serius ternyata di produksi oleh berbagai Label. Kelebihan musik Serius dibandingkan musik Pop adalah “umur”nya yang jauh lebih panjang. Disamping itu, penjualan musik Serius juga selalu diiringi dengan materi penerbitan (seperti partitur) yang diperlukan untuk pendidikan. Tak kalah pentingnya, musik Serius ternyata jarang sekali dibajak; persentase pembajakan di tahun 2007 di seluruh dunia tidak melebihi 5%. Inilah yang menyebabkan mengapa musik Serius terus di produksi.

Dari sisi ilmu Pemasaran, setiap produk pasti memiliki pangsa pasarnya sendiri. Pertanyaannya adalah dimana dan seberapa besar? Dan disinilah pentingnya pertunjukan hidup dalam menjawab kedua pertanyaan tersebut.



Segmentasi pasar masih merupakan persoalan di Indonesia karena beberapa hal. Pertama adalah para pelaku musik umumnya belum memahami dengan baik sehingga belum melihatnya secara proporsional. Kedua, industri rekaman di Indonesia hanya berkonsentrasi pada segmentasi musik Pop (khususnya lagi pop rock dan easy listening) sehingga segala jenis musik yang ditawarkan kepada mereka jadi harus di Pop kan. Inilah yang menyebabkan sering terdengarnya ungkapan seperti,” Wah kalau seperti ini, musik anda tidak ada pasarnya.”

Bagi para pelaku musik, adalah sangat penting untuk menyadari besaran potensi peminat terhadap karya-karya musik mereka. Jika peminatnya memang masih sedikit, maka terimalah kenyataan tersebut dengan lapang dada, dan terus berupaya untuk membangunnya sehingga bisa menjadi lebih besar. Perlu pula disadari bahwa musik Serius atau Pop memiliki peluang sukses atau gagal yang sama. Beberapa album mendiang penyanyi opera Pavarotti berhasil mencapai penjualan antara 1 – 2 juta keping, dan sebaliknya, banyak musisi Pop yang gagal total dalam penjualan. Dengan kata lain, pelaku musik seharusnya memahami betul konsekwensi dari posisi yang ingin ditempatinya; apakah ingin menjadi musisi nya musisi, musisi atau penghibur? Kebesaran pemusik bukanlah diukur dari besarnya penjualan CD; pelaku-pelaku musik Serius seperti Stockhausen, John Cage atau Miles Davis menjelma menjadi immortals karena besarnya pengaruh pemikiran serta karya-karya mereka terhadap perkembangan musik.

Industri rekaman, di lain pihak, sudah saatnya untuk mempelajari serta menggarap segmentasi yang lain dengan serius, terlebih lagi pada materi- materi yang kreatif, orisinal dan berakar agar musik Indonesia dapat berbicara di tingkat dunia. Kenyamanan dalam kebiasaan mengimpor musik-musik Top 40, dan mengangkat musik-musik domestik yang umumnya meniru perlu diusik untuk menjamin masa depannya sendiri. Hal ini memang memerlukan kemauan dan daya tahan, tetapi bukankah sepadan dengan berkibarnya musik Indonesia di berbagai belahan bumi?

Serrano Sianturi
Ketua Sacred Bridge Foundation